Kamis, 07 Agustus 2014

Ancaman Kedaulatan Kretek


Oleh Zamhuri



Kretek bukan rokok. Kalimat itu sebagai pengingat bahwa kita hanya memiliki kretek yang berbeda dengan rokok, seperti rokok putih yang beredar atau hasil produk impor. Sekaligus menjadi pengingat, kretek adalah produk khas budaya bangsa.Walau tanaman tembakau bukan asli tanaman di Indonesia, tetapi kretek adalah hasil kreasi dan inovasi bangsa Indonesia sendiri.
Legenda kretek adalah asset dan omset nasional yang tersisa yang hingga kini masih bertahan dan menjadi “penguasa” di negeri sendiri. Kretek juga menjadi penghias dari proses perjalanan bangsa dalam merebut kemerdekaan.
Soekarno pada pidatonya saat merumuskan dasar negara Indonesia dalam Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 menyinggung mengenai keberhasilan usaha kretek yang dikelola oleh Nitisemito, sehingga menjadikannya golongan orang terkaya di Indonesia, "Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Pidato Soekarno dalam momen yang sangat penting tersebut membuktikan mengenai keberhasilan usaha kretek, sehingga untuk mewakili orang pribumi yang kaya pada waktu itu Soekarno menyebut Nitisemito. ("Kretek: Ketangguhan Industri yang Teruji" dalam komunitaskretek.or.id.)
Kretek dikenal sebagai “Rokok cengkeh” ini merupakan produk varian kreativitas anak bangsa dari campuran tembakau dan rempah-rempah bumi Nusantara. Perdebatan tentang kretek, terutama pihak-pihak yang berkepentingan dengan nilai ekenomi “asap ajaib” ini dicurahkan untuk membela maupun menyudutkan racikan yang diberi label “kretek” ini. Paduan hasil budidaya para petani asli Indonesia yang terdiri dari bahan tanaman cengkih dan belasan jenis tembakau dari penjuru negeri ditambah saus pembangkit aroma telah mengundang perhatian dunia sejak zaman kolonialisme Hindia Belanda.
Karenanya, dengan modus yang sama, bangsa lain ingin menancapkan kembali “kuku kolonialsisme” melalui segala dalih termasuk isu mulia “kesehatan” untuk merebut kuasa pasar jagad distribusi kretek.
Gaya koloni baru dengan taktik dan strategi mutakhir terutama melalui isu ekonomi dan kebudayaan menjadi pilihan rasional bagi negara agresor untuk menguasai sumber-sumber daya yang menjadi komoditas unggulan dunia.
Dengan dalih demokrasi, negara-negara Timur Tengah yang dikenal sebagai penghasil tambang minyak berganti rezim dengan membayar mahal karena sumber energinya dikuasai oleh jaringan kolonialisme global.
Sama halnya negara-negara di Timur Tengah, sumber-sumber daya ekomoni negara Indonesia, baik potensi kekayaan laut, hasil tambang  maupun hasil budi daya pertanian, terutama tanaman rempah-rempah menjadi target incaran kolonialisme global. Indonesia yang dikenal sebagai tanah surga, karena mulai dari laut, kandungan perut bumi dan budi daya pertanian memiliki kekayaan luar biasa. Namun potensi kekayaan tersebut seolah menjadi “kutukan” bukan keberkahan. Dengan potensi kekayaan yang melimpah, Indonesia tidak memiliki kedaulatan untuk mengurus sendiri.
Episode kretek telah mengawal negeri melewati masa-masa pahit dan manis perjalanan anak negeri. Saat badai kiris menerpa kretek tetap bernadi. Kretek merupakan industri nasional berkarakter lokal. Modal dari dalam negeri, berproduksi di dalam negeri, sebagain besar bahan bakunya dari dalam negeri, tenaga kerjanya (dari hulu sampai hilir) dari dalam negeri, mayoritas kapasitas produksi dipasarkan di dalam negeri dan menguasai pasar dalam negeri. 
Buku “Kiminalitas Berujung Monopoli; Industri Tembakau Indonesia di tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional” (Jakarta, Indonesia Berdikari, 2011) mencatat secara global pasar tembakau bernilai 378 milyar dolar AS,  tumbuh 4,6 % pada tahun 2007. Pada tahun 2012, nilai pasar tembakau diproyeksikan meningkat 23% mencapai 464,4 milyar dolar AS. Jika seluruh industri tembakau besar digabungkan dan diibaratkan sebua negara, maka posisinya menduduki perinkat 23 dunia dasi sisi Produk Domestic Bruto (PDB). Melihat potensi pasar raksasa tersebut, komoditas tembakau akan menjadi rebutan. Apalagi kretek merupakan produk rokok yang tidak ada duanya di dunia sangat diminati dan memiliki kekuatan penetrasi di pasar global.
Dogma kesehatan dalam isu kampanye global perang melawan tembakau yang merambah Indonesia hanyalah strategi pengalih isu para imperialis pemburu kretek. Faktanya, pertama, setelah regulasi didominasi oleh kelompok anti tembakau (tobacco control), impor tembakau ke Indonesia meningkat. Pada tahun 2003 sebesar 29.576 ton naik menjadi 25.171 ton pada tahun 2004, tahun 2005 sebesar 48.142 ton, tahun 2006 sebesar 48.287 ton, tahun 2007 sebesar 61.687 ton, dan tahun 2008 menjadi 77.302 ton. Dari tahun 2003-2008 impor tembakau Indonesia naik 25o%. Justru di saat yang sama negara melalui Mentri Pertanian menganjurkan petani tembakau beralih ke tanaman hortukultura dan perlunya kebijakan subtitusi bagi para petani.  
Kedua, impor rokok dan cerutu ke Indonesia meningkat. Impor rokok meningkat rata-rata 86,87%, dari 0,836 juta dolar AS di tahun 2004 menjadi 4,357 juta dolar AS pada 2008. Di tahun yang sama, impor juga cerutu meningkat rata-rata 197,5% per tahun, 0,09 juta dolar AS menjadi  0,979 juta dolar AS. (“Outlook Komoditas Pertanian dan Perkebunan”, Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementrian Pertanian, 2010).
Ketiga, dua perusahaan kretek besar telah diambil alih sahamnya oleh kapitalis asing. Di tahun 2005 Philip Moris membeli 97% saham HM Sampoerna dengan nilai pembelian sebesar 48,5 trilliun rupiah. Pada tahun 2009 gilirian Britis American Tobacco (BAT) membeli perusahaan kretek terbesar keempat, Bentoel dengan nominal 5 trilliun rupiah.
Lalu, apa arti dari kampanye kesehatan termasuk memproduksi regulasi yang menjerat industri kretek dalam negeri? Logika apalagi untuk mempertahankan argumen bahwa kampanye kesehatan dalam isu kretek bukan kedok strategi menguasai produksi kretek nasional.  Karena itu, sudah sepantasanya jika ada perlawanan dari masyarakat, terutama komunitas kretek untuk  berjihad mempertahankan kedaulatan kretek.

Zamhuri, Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi...