Kretek
bukan rokok. Kalimat itu sebagai pengingat bahwa kita hanya memiliki kretek yang
berbeda dengan rokok, seperti rokok putih yang beredar atau hasil produk impor.
Sekaligus menjadi pengingat, kretek adalah produk khas budaya bangsa.Walau tanaman
tembakau bukan asli tanaman di Indonesia, tetapi kretek adalah hasil kreasi dan
inovasi bangsa Indonesia sendiri.
Legenda kretek adalah asset dan omset nasional yang tersisa
yang hingga kini masih bertahan dan menjadi “penguasa” di negeri sendiri.
Kretek juga menjadi penghias dari proses perjalanan bangsa dalam merebut
kemerdekaan.
Soekarno pada pidatonya saat merumuskan dasar
negara Indonesia dalam Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 menyinggung mengenai
keberhasilan usaha kretek yang dikelola oleh Nitisemito, sehingga menjadikannya
golongan orang terkaya di Indonesia, "Bukan Kristen buat Indonesia, bukan
golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck
buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia
buat Indonesia. Pidato Soekarno dalam momen yang sangat penting
tersebut membuktikan mengenai keberhasilan usaha kretek, sehingga untuk
mewakili orang pribumi yang kaya pada waktu itu Soekarno menyebut Nitisemito. ("Kretek: Ketangguhan
Industri yang Teruji" dalam komunitaskretek.or.id.)
Kretek
dikenal sebagai “Rokok cengkeh” ini merupakan produk varian kreativitas anak
bangsa dari campuran tembakau dan rempah-rempah bumi Nusantara. Perdebatan
tentang kretek, terutama pihak-pihak yang berkepentingan dengan nilai ekenomi “asap
ajaib” ini dicurahkan untuk membela maupun menyudutkan racikan yang diberi
label “kretek” ini. Paduan hasil budidaya para petani asli Indonesia yang
terdiri dari bahan tanaman cengkih dan belasan jenis tembakau dari penjuru
negeri ditambah saus pembangkit aroma telah mengundang perhatian dunia sejak
zaman kolonialisme Hindia Belanda.
Karenanya,
dengan modus yang sama, bangsa lain ingin menancapkan kembali “kuku
kolonialsisme” melalui segala dalih termasuk isu mulia “kesehatan” untuk
merebut kuasa pasar jagad distribusi kretek.
Gaya
koloni baru dengan taktik dan strategi mutakhir terutama melalui isu ekonomi
dan kebudayaan menjadi pilihan rasional bagi negara agresor untuk menguasai sumber-sumber
daya yang menjadi komoditas unggulan dunia.
Dengan
dalih demokrasi, negara-negara Timur Tengah yang dikenal sebagai penghasil
tambang minyak berganti rezim dengan membayar mahal karena sumber energinya
dikuasai oleh jaringan kolonialisme global.
Sama halnya
negara-negara di Timur Tengah, sumber-sumber daya ekomoni negara Indonesia,
baik potensi kekayaan laut, hasil tambang
maupun hasil budi daya pertanian, terutama tanaman rempah-rempah menjadi
target incaran kolonialisme global. Indonesia yang dikenal sebagai tanah surga,
karena mulai dari laut, kandungan perut bumi dan budi daya pertanian memiliki
kekayaan luar biasa. Namun potensi kekayaan tersebut seolah menjadi “kutukan”
bukan keberkahan. Dengan potensi kekayaan yang melimpah, Indonesia tidak
memiliki kedaulatan untuk mengurus sendiri.
Episode kretek telah mengawal negeri melewati
masa-masa pahit dan manis perjalanan anak negeri. Saat badai kiris menerpa
kretek tetap bernadi. Kretek merupakan industri nasional berkarakter lokal. Modal
dari dalam negeri, berproduksi di dalam negeri, sebagain besar bahan bakunya
dari dalam negeri, tenaga kerjanya (dari hulu sampai hilir) dari dalam negeri, mayoritas
kapasitas produksi dipasarkan di dalam negeri dan menguasai pasar dalam negeri.
Buku “Kiminalitas Berujung Monopoli; Industri
Tembakau Indonesia di tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional”
(Jakarta, Indonesia Berdikari, 2011) mencatat secara global pasar tembakau
bernilai 378 milyar dolar AS, tumbuh 4,6
% pada tahun 2007. Pada tahun 2012, nilai pasar tembakau diproyeksikan
meningkat 23% mencapai 464,4 milyar dolar AS. Jika seluruh industri tembakau
besar digabungkan dan diibaratkan sebua negara, maka posisinya menduduki
perinkat 23 dunia dasi sisi Produk Domestic Bruto (PDB). Melihat potensi pasar
raksasa tersebut, komoditas tembakau akan menjadi rebutan. Apalagi kretek
merupakan produk rokok yang tidak ada duanya di dunia sangat diminati dan
memiliki kekuatan penetrasi di pasar global.
Dogma kesehatan dalam isu kampanye global perang
melawan tembakau yang merambah Indonesia hanyalah strategi pengalih isu para
imperialis pemburu kretek. Faktanya, pertama, setelah regulasi didominasi oleh kelompok
anti tembakau (tobacco control), impor
tembakau ke Indonesia meningkat. Pada tahun 2003 sebesar 29.576 ton naik
menjadi 25.171 ton pada tahun 2004, tahun 2005 sebesar 48.142 ton, tahun 2006
sebesar 48.287 ton, tahun 2007 sebesar 61.687 ton, dan tahun 2008 menjadi
77.302 ton. Dari tahun 2003-2008 impor tembakau Indonesia naik 25o%. Justru di
saat yang sama negara melalui Mentri Pertanian menganjurkan petani tembakau
beralih ke tanaman hortukultura dan perlunya kebijakan subtitusi bagi para
petani.
Kedua, impor rokok dan cerutu ke Indonesia
meningkat. Impor rokok meningkat rata-rata 86,87%, dari 0,836 juta dolar AS di
tahun 2004 menjadi 4,357 juta dolar AS pada 2008. Di tahun yang sama, impor juga
cerutu meningkat rata-rata 197,5% per tahun, 0,09 juta dolar AS menjadi 0,979 juta dolar AS. (“Outlook Komoditas Pertanian
dan Perkebunan”, Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementrian Pertanian,
2010).
Ketiga, dua perusahaan kretek besar telah diambil
alih sahamnya oleh kapitalis asing. Di tahun 2005 Philip Moris membeli 97% saham
HM Sampoerna dengan nilai pembelian sebesar 48,5 trilliun rupiah. Pada tahun
2009 gilirian Britis American Tobacco (BAT) membeli perusahaan kretek terbesar
keempat, Bentoel dengan nominal 5 trilliun rupiah.
Lalu, apa arti dari kampanye kesehatan termasuk
memproduksi regulasi yang menjerat industri kretek dalam negeri? Logika apalagi
untuk mempertahankan argumen bahwa kampanye kesehatan dalam isu kretek bukan kedok
strategi menguasai produksi kretek nasional. Karena itu, sudah sepantasanya jika ada
perlawanan dari masyarakat, terutama komunitas kretek untuk berjihad mempertahankan kedaulatan kretek.
Zamhuri,
Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berdiskusi...