Kamis, 07 Agustus 2014

FCTC dan Fakta Tentang Tembakau

Membaca artikel mantan Ketua PB IDI Kartono Muhammad bertajuk “FCTC dan Petani Tembakau” (Kompas, 12/3/2014), sebenarnya cukup menarik. Sayang, artikel ini ditulis dengan nada sinisme dan stigmatisasi terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT).
Beberapa narasi sinisme itu antara lain bisa dilihat, dari bagian-bagian awal, bahwa terkait regulasi pengendalian rokok (baca: tembakau) yang didorong kelompok anti kretek dan jaringannya. Yakni industri rokok yang ketakutan bisnisnya akan tutup dan pencandu rokok yang takut akan sulit mendapatkan rokok yang sudah menjeratnya.
Tak cukup di situ. Kartono Muhammad juga menuding kelompok lain ikut ketakutan jika ada regulasi pengendalian IHT di Indonesia, yaitu politisi dan birokrat korup yang (disebut) menikmati dana dari industri rokok.
Meski Kartono membangun argumentasinya dengan data-data, seperti ihwal mula munculnya regulasi pengendalian konsumsi rokok pertama kali terjadi di Amerika Serikat dan mencuatnya penelitian-penelitian kesehatan yang membuktikan adanya kaitan antara konsumsi rokok dan meningkatnya kanker paru-paru di AS, namun ini tidaklah cukup.
Pertama, perlu riset serius mengenai kasus di Indonesia. Riset di AS yang menyebutan adanya peningkatan pengidap kanker paru-paru akibat meningkatnya tingkat konsumsi rokok, adalah fakta di AS yang belum tentu sama ihwalnya dengan Indonesia. Apakah pernah ada riset serupa di Indonesia pun kemudian menjadi pertanyaan yang perlu diajukan.
Kedua, independensi peneliti. Kalau pun ada penelitian mengenai hal di atas, pertanyaan selanjutnya yang mesti diajukan adalah masalah independensi si peneliti sendiri. Apakah dalam melakukan penelitian murni untuk mencari kebenaran ilmiah (akademik), atau ada tendensi tertentu dan membawa misi atau kepentingan kelompom tertentu (kelompok anti tembakau).

Fakta Sejarah
IHT di Indonesia, sebenarnya sudah ada beberapa dekade sebelum bumi pertiwi memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Berdasarkan catatan Van Der Reijden dari tahun 1929 hingga 1934, diketahui bahwa di Blitar, Tulungagung, Kediri, dan Nganjuk (Jawa Timur), kebanyakan usaha yang dikembangkan saat itu adalah industri kretek (Margana dkk, 2014).
Industri kretek ini menjadi dimensi lain dalam peta perjuangan Indonesia pada masa revolusi, khususnya setelah diterapkannya politik etis oleh pemerintah kolonial. Ini memunculkan peta nasionalisme tersendiri, yaitu kegigihan pengusaha bumiputra berjuang melawan dominasi ekonomi kapitalistik kolonial, untuk mengangkat dan menegakkan martabat ekonomi bumiputra.
Ini adalah fakta sejarah mengenai keberadaan kretek –rokok dalam pandangan umum masyarakat- yang tidak bisa diingkari. Selain itu, banyak peran-peran penting (sumbangsih) para pengusaha kretek dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
Fakta sejarah itulah yang kini seakan ‘’dilupakan’’ oleh kelompok anti tembakau dan sekutunya, yang getol memperjuangkan agar pemerintah segera meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).  
FCTC sendiri adalah kebijakan yang mendiskreditkan eksistensi petani tembakau dan IHT, sehingga mendapatkan perlawanan tanpa kenal lelah dari para petani tembakau dan pekerja di sektor IHT.
Untuk itu, pemerintah semestinya memang tidak gegabah meratifikasi FCTC. Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hingga kini belum menandatangani FCTC, laik mendapatkan apresiasi dan support dari masyarakat luas atas sikapnya yang populis itu.
Ada beberapa hal lain yang bisa menjadi alasan pemerintah Indonesia tidak meratifikasi FCTC. Pertama, nilai sejarah. Kretek adalah warisan sejarah (heritage) karya anak bangsa yang memiliki kekhasan, serta ikut berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan.
Kedua, padat karya. IHT merupakan satu industri padat karya yang mampu bertahan dalam goncangan ekonomi global sedahsyat apapun. Puluhan juta warga negara Indonesia bekerja di sektor IHT, sehingga tsunami pengangguran akan melanda jika FCTC diratifikasi, yang pada gilirannya mengancam eksistensi IHT itu sendiri.
Ketiga, berkontribusi besar untuk negara. Pemerintah tidak bisa menutup mata, bahwa IHT berkontribusi besar terhadap negara melalui cukai dan pajak yang dibayarkannya. Setiap tahun, target pendapatan dari cukai dan pajak kretek pun dinaikkan. Ini berarti, pemerintah pun tidak siap kehilangan aset besar berupa IHT.

Namun lepas dari semua itu, pemerintah memang semestinya ikut memperhatikan petani tembakau dan industri hasil tembakau (IHT), lantaran besarnya kontribusi yang sudah diberikan. Bukan sebaliknya, malah mengeluarkan kebijakan yang menjadi bumerang dan mengancam eksistensinya. [rsd]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi...