Membaca artikel mantan Ketua PB IDI Kartono Muhammad
bertajuk “FCTC dan Petani Tembakau” (Kompas, 12/3/2014), sebenarnya cukup
menarik. Sayang, artikel ini ditulis dengan nada sinisme dan stigmatisasi
terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT).
Beberapa narasi sinisme itu antara lain bisa
dilihat, dari bagian-bagian awal, bahwa terkait regulasi pengendalian rokok
(baca: tembakau) yang didorong kelompok anti kretek dan jaringannya. Yakni industri
rokok yang ketakutan bisnisnya akan tutup dan pencandu rokok yang takut akan
sulit mendapatkan rokok yang sudah menjeratnya.
Tak cukup di situ. Kartono Muhammad juga menuding
kelompok lain ikut ketakutan jika ada regulasi pengendalian IHT di Indonesia,
yaitu politisi dan birokrat korup yang (disebut) menikmati dana dari industri
rokok.
Meski Kartono membangun argumentasinya dengan
data-data, seperti ihwal mula munculnya regulasi pengendalian konsumsi rokok
pertama kali terjadi di Amerika Serikat dan mencuatnya penelitian-penelitian
kesehatan yang membuktikan adanya kaitan antara konsumsi rokok dan meningkatnya
kanker paru-paru di AS, namun ini tidaklah cukup.
Pertama,
perlu riset serius mengenai kasus di Indonesia. Riset di AS yang menyebutan
adanya peningkatan pengidap kanker paru-paru akibat meningkatnya tingkat
konsumsi rokok, adalah fakta di AS yang belum tentu sama ihwalnya dengan
Indonesia. Apakah pernah ada riset serupa di Indonesia pun kemudian menjadi
pertanyaan yang perlu diajukan.
Kedua,
independensi peneliti. Kalau pun ada penelitian mengenai hal di atas,
pertanyaan selanjutnya yang mesti diajukan adalah masalah independensi si
peneliti sendiri. Apakah dalam melakukan penelitian murni untuk mencari
kebenaran ilmiah (akademik), atau ada tendensi tertentu dan membawa misi atau
kepentingan kelompom tertentu (kelompok anti tembakau).
Fakta Sejarah
IHT di Indonesia, sebenarnya sudah ada beberapa dekade
sebelum bumi pertiwi memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Berdasarkan
catatan Van Der Reijden dari tahun 1929 hingga 1934, diketahui bahwa di Blitar,
Tulungagung, Kediri, dan Nganjuk (Jawa Timur), kebanyakan usaha yang
dikembangkan saat itu adalah industri kretek (Margana dkk, 2014).
Industri kretek ini menjadi dimensi lain dalam peta
perjuangan Indonesia pada masa revolusi, khususnya setelah diterapkannya
politik etis oleh pemerintah kolonial. Ini memunculkan peta nasionalisme
tersendiri, yaitu kegigihan pengusaha bumiputra berjuang melawan dominasi
ekonomi kapitalistik kolonial, untuk mengangkat dan menegakkan martabat ekonomi
bumiputra.
Ini adalah fakta sejarah mengenai keberadaan kretek
–rokok dalam pandangan umum masyarakat- yang tidak bisa diingkari. Selain itu,
banyak peran-peran penting (sumbangsih) para pengusaha kretek dalam perjuangan
merebut kemerdekaan.
Fakta sejarah itulah yang kini seakan ‘’dilupakan’’
oleh kelompok anti tembakau dan sekutunya, yang getol memperjuangkan agar
pemerintah segera meratifikasi Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC).
FCTC sendiri adalah kebijakan yang mendiskreditkan
eksistensi petani tembakau dan IHT, sehingga mendapatkan perlawanan tanpa kenal
lelah dari para petani tembakau dan pekerja di sektor IHT.
Untuk itu, pemerintah semestinya memang tidak
gegabah meratifikasi FCTC. Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang
hingga kini belum menandatangani FCTC, laik mendapatkan apresiasi dan support
dari masyarakat luas atas sikapnya yang populis itu.
Ada beberapa hal lain yang bisa menjadi alasan
pemerintah Indonesia tidak meratifikasi FCTC. Pertama, nilai sejarah. Kretek
adalah warisan sejarah (heritage) karya anak bangsa yang memiliki kekhasan,
serta ikut berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan.
Kedua,
padat karya. IHT merupakan satu industri padat karya yang mampu bertahan dalam
goncangan ekonomi global sedahsyat apapun. Puluhan juta warga negara Indonesia
bekerja di sektor IHT, sehingga tsunami pengangguran akan melanda jika FCTC
diratifikasi, yang pada gilirannya mengancam eksistensi IHT itu sendiri.
Ketiga,
berkontribusi besar untuk negara. Pemerintah tidak bisa menutup mata, bahwa IHT
berkontribusi besar terhadap negara melalui cukai dan pajak yang dibayarkannya.
Setiap tahun, target pendapatan dari cukai dan pajak kretek pun dinaikkan. Ini
berarti, pemerintah pun tidak siap kehilangan aset besar berupa IHT.
Namun lepas dari semua itu, pemerintah memang
semestinya ikut memperhatikan petani tembakau dan industri hasil tembakau
(IHT), lantaran besarnya kontribusi yang sudah diberikan. Bukan sebaliknya,
malah mengeluarkan kebijakan yang menjadi bumerang dan mengancam eksistensinya.
[rsd]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berdiskusi...