Oktober 22, 2012
Industri kretek telah membuktikan diri menjadi hanya sedikit, bahkan mungkin satu-satunya, dari industri nasional yang mampu bertahan dari berbagai terpaan badai pergolakan sosial dan politik, perang dan pemberontakan bersenjata, juga krisis perekonomian global maupun lokal.[1]
Awal abad XX. Hadji Djamhari telah tiada, tetapi permintaan atas kretek tidak ikut mati, sebaliknya justru terus meningkat. Permintaan bahkan meluas dari sekitar Kudus sampai ke daerah-daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Industri kretek di Kudus tumbuh sebagai industri yang unik. Dalam pemerintahan yang dikendalikan oleh bangsa asing, dan dalam perekonomian yang didominasi oleh modal asing, industri kretek di Kudus tumbuh dan berkembang sebagai basis usaha pribumi.
Salah seorang yang berperan penting di masa itu adalah Nitisemito, pengusaha pribumi yang kelak dikenal sebagai “raja kretek”. Jika Hadji Djamhari dikenal sebagai penemu kretek, Nitisemito dikenal sebagai orang yang memajukan industri kretek. Adalah Nitisemito yang pertama kali menggunakan dan memperkenalkan merek kretek, mulai dari Kodok Mangan Ulo, Bulatan Tiga, Tiga Bola, hingga akhirnya disempurnakan menjadi Bal Tiga di tahun 1906. Pada tahun 1908, ia mendaftarkan perusahaannya sebagai NV Bal Tiga Nitisemito.
Capaian Kudus kemudian menjalar ke Jawa Timur. Kali ini bukan hanya permintaan kretek saja, tetapi berdirinya perusahaan kretek. Tahun 1909, di Blitar berdiri perusahaan kretek. Menyusul kemudian di Kediri tahun 1911, dan di Surabaya tahun 1914. Puncak kejayaan tembakau masa itu terjadi pada tahun 1913, di mana ekspor tembakau Hindia Belanda mencapai jumlah terbesar, yaitu sebanyak 160 ribu bal.[2]
Selama Perang Dunia I, ketika terjadi kelumpuhan terjadi di mana-mana, industri kretek terus berkembang. Sampai tahun 1918, puluhan perusahaan kretek baru justru bermunculan di Kudus. Industri kretek juga semakin meluas di Jawa Timur, ditandai dengan berdirinya perusahaan kretek pertama di Nganjuk dan Madiun tahun 1915. Perkembangan industri kretek yang begitu pesat di Kudus menarik minat para pengusaha Tionghoa. Sayangnya, persaingan para pengusaha pribumi dengan para pengusaha Tionghoa yang terjadi sepanjang Perang Dunia I, berujung pada kerusuhan di bulan Oktober 1918.
Tetapi lagi-lagi, industri kretek adalah anomali. Pascakerusuhan, tidak butuh waktu lama bagi industri kretek di Kudus untuk pulih dan bangkit kembali. Menurut Budiman dan Onghokham,[3] di tahun 1924, industri kretek di Kudus bisa dibedakan ke dalam 3 golongan, yaitu besar (produksi di atas 50 juta batang per tahun), menengah (produksi 10 – 50 juta batang per tahun) dan kecil (produksi di bawah 10 juta batang per tahun). Di tahun itu, tercatat ada 12 perusahan besar, 16 perusahaan menengah, dan 7 perusahaan kecil. Jumlah itu terus meningkat di tahun-tahun selanjutnya: menjadi 38 perusahaan di tahun 1925, 42 perusahaan di tahun 1926, dan 46 perusahaan di tahun 1927. Di tahun 1928, industri kretek telah mencapai jumlah 50 perusahaan, dengan perincian 13 perusahaan besar, 26 perusahaan menengah, dan 11 perusahaan kecil. Pulihnya industri kretek di Kudus juga ditandai dengan semakin berkibarnya perusahaan Nitisemito. Tahun 1924, Bal Tiga telah melibatkan 15.000 orang pekerja.[4]
Tahun 1928. Perusahaan kretek telah meluas di hampir seluruh ibukota kabupaten di Jawa Tengah. Di Jawa Timur, setelah Blitar, Kediri, Surabaya, Nganjuk, dan Madiun, perusahaan kretek telah berdiri di Jombang, Tulungagung, Probolinggo, Besuki, Bojonegoro, Ponorogo, Tuban, Sidoarjo, Mojokerto, dan Malang. Perusahaan kretek juga telah mengenal pembungkus kertas yang memungkinkan penggunaan alat pelinting dalam pembuatannya. Kertas sebagai pembungkus rokok ini dikenal dengan istilah “papersigaretten”.
Sejak awal abad XX, rokok putih—yang tentu semuanya impor—sudah membanjir. Tahun 1923, jumlahnya diperkirakan mencapai 1 miliar batang per tahun. Ketika tahun 1924, British American Tobacco (BAT) membuka pabrik di Cirebon, banjir rokok putih kian meningkat. Empat tahun kemudian, BAT kembali dibuka di Surabaya. Di tahun 1931, total jumlah rokok putih yang beredar adalah 7,1 miliar batang,[5] melampaui peredaran kretek yang hanya 6,95 miliar batang.[6]
Industri kretek kembali diterpa badai ketika tahun 1929 bursa saham di New York jatuh. Industri ambruk. Perdagangan remuk. Imbas depresi terasa sampai ke Hindia Belanda. Pendapatan pemerintah dari pajak jauh menipis. Pemerintah kolonial akhirnya menerapkan beban pajak sebesar 20 persen bagi semua hasil tembakau pabrik. Maka, sejak tahun 1932 pabrik rokok harus membeli stiker banderol pajak atau pita cukai untuk dipasang di tiap bungkusnya. Peraturan tersebut membangkitkan ketakutan besar bagi industri kretek, melebihi ketakutan atas persoalan lain.
Tahun 1928 sampai 1932 merupakan salah satu masa terberat industri kretek. Tidak sedikit perusahaan yang tergilas karena mengalami penurunan produksi sebanyak dua kali. Produksi kretek sebesar 7,27 miliar batang di tahun 1930 turun menjadi 6,95 miliar batang di tahun 1931, kemudian turun lagi menjadi 6,08 miliar batang di tahun 1932.
Tetapi tahun berikutnya industri kretek telah berhasil bangkit. Tahun 1933, jumlah produksi meningkat menjadi 8,43 miliar batang. Sampai tahun ini pula, semua karesidenan di Jawa Timur, kerajaan Surakarta, Yogyakarta dan Jawa Tengah, kecuali Karesidenan Banyumas, telah mengembangkan perusahaan kretek. Hal yang sama berlaku untuk.
Dari Karesidenan Jepara dan Rembang, Karesidenan Madiun dan Karesidenan Malang saja tercatat ada 502 perusahaan. Jika ditambah karesidenan lain, termasuk kabupaten dan daerah kerajaan, yang tidak ada datanya, khususnya Karesidenan Kediri (Kediri, Blitar, dan Tulungagung) yang merupakan pusat industri kretek terbesar setelah Kudus, mestinya jumlah perusahaan kretek telah menembus angka 1000 di tahun 1933.
Laju perkembangan itu tidak lepas dari berbagai kebijakan pemerintah kolonial yang lebih menguntungkan industri kretek daripada industri rokok putih. Misalnya, tahun 1932 industri rokok putih harus membayar banderol pajak lebih tinggi dibanding kretek. Kemudian, tahun 1935 harga eceran minimum untuk rokok putih ditentukan. Juga adanya pelarangan operasi bagi mesin-mesin baru tanpa izin pemerintah. Kebijakan ini tak lepas dari kepentingan pemerintah kolonial atas pajak industri kretek, khususnya perusahaan Nitisemito, Bal Tiga, yang telah melesat sampai 3,5 miliar batang di tahun 1938.
Perang Dunia terus berkecamuk. Tahun 1940, penetrasi ekonomi Jepang ke Indonesia berjalan massif. Perekonomian Indonesia diarahkan untuk menopang keperluan perang Jepang. Sektor perkebunan babak belur. Tanaman perkebunan dibongkar, diganti dengan tanaman pangan dan jarak—untuk pelumas mesin-mesin. Selama masa pendudukan Jepang, produksi perkebunan Indonesia merosot sampai 80 persen.[7]Industri kretek dirundung gelap. Tembakau sangat terbatas dan sulit didapat. Keadaan semakin gelap karena Jepang menyita banyak perusahaan kretek, termasuk NV Bal Tiga.
Namun kretek tidak sepenuhnya dilupa. Kejayaan kretek tersirat melalui penyebutan nama Nitisemito oleh pidato Soekarno di depan BPUPKI, 1 Juni 1945: “Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia.”
Tanggal 6 Agustus 1945, Indonesia dihadapkan pada situasi kekosongan kekuasaan; Jepang yang berkuasa telah menyerah, sementara pihak Sekutu tidak menaklukkan kembali Indonesia. Dengan membonceng Sekutu, Belanda kembali ke Indonesia, karena secara ekonomi Indonesia tetap penting bagi Belanda. Akibatnya, sepanjang masa agresi, industri kretek hanya berkembang di kota-kota yang dikuasai Belanda, seperti Surabaya, Malang, dan Semarang. Baru setelah agresi militer Belanda yang kedua, seiring jatuhnya Kudus dalam kekuasaan Belanda akhir tahun 1948, industri kretek di Kudus bisa mengakses cengkeh impor.
27 Desember 1949. Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia. Keadaan sosial, ekonomi, dan politik pada masa itu sungguh sulit. Di berbagai daerah, ketegangan politik muncul dan seringkali berujung pada konflik senjata. Industri kretek tumbuh dalam lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang sulit. Kenyataan tersebut masih ditambah harga cengkeh yang kembali melejit akibat gagal panen di Zanzibar dan dampak Perang Korea. Tetapi secara keseluruhan, industri kretek justru berkembang. Jumlah produksi kretek tidak kalah dengan tahun-tahun terakhir sebelum Perang Dunia II, bahkan jauh melampauinya di tahun 1959 – 1963. Jumlah produksi tahun 1939 diperkirakan sebanyak 15,14 miliar batang. Sementara jumlah produksi di tahun 1959 – 1963 berturut-turut adalah 21,22 miliar batang, 21,37 miliar batang, 20,22 miliar batang, 19,30 miliar batang, dan 20,71 miliar batang.[8]
Selain peningkatan jumlah, produksi kretek juga meluas ke luar Jawa. Tahun 1961, perusahaan kretek telah berdiri di Karesidenan Sumatera Timur, Bali, dan Lombok. Jumlah produksi kretek di daerah-daerah tersebut mencapai hampir 1,4 miliar batang dari total 20,22 miliar batang di tahun 1961. Berkembangnya industri kretek berpengaruh besar terhadap penerimaan negara dari cukai tembakau yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dari masa ini perlindungan pemerintah berupa pajak diferensial ala pemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan lebih mencolok di akhir tahun 1950-an. Tahun 1950, rokok yang dibuat dengan mesin dikenakan pajak 50 persen dari harga eceran, sementara kretek hanya 40 persen. Tahun 1959, pungutan untuk rokok buatan mesin tetap 50 persen, sedangkan kretek turun menjadi 20 persen. Yang juga turut memengaruhi adalah pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik asing oleh pemerintah, terutama milik Belanda, Inggris, dan Amerika, di mana Jacobson van den Berg dan BAT.
Hingga akhirnya Demokrasi Terpimpin jatuh, Orde Baru berkuasa, kiblat ekonomi menjadi berubah. Bantuan keuangan dalam jumlah besar mengucur dari negara-negara barat. Sebagai kompensasi, Orde Baru mengangkat World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF) sebagai mentor perekonomian Indonesia.
Perubahan kiblat ekonomi juga berarti dikembalikannya perusahaan-perusahaan milik Inggris dan Amerika Serikat yang diambil alih di era pemerintahan Soekarno. Salah satu perusahaan tersebut adalah BAT, produsen rokok putih terbesar di Indonesia. Tahun 1968 – 1969, BAT segera menjadi lokomotif rokok putih yang melesat cepat hingga mendesak kretek. Tahun 1970, hanya tiga tahun setelah BAT dikembalikan, rokok putih telah menguasai 40 persen pasar rokok Indonesia.
Tetapi industri kretek kembali mendapat perlindungan pemerintah. Tahun 1970 swasembada cengkeh dicanangkan untuk mengurangi impor dan menguatkan devisa. Kemudian, dari oil booming di tahun 1974, pemerintah mengucurkan pinjaman lunak bagi industri kretek. Pinjaman itu digunakan industri kretek untuk menambah investasi. Revolusi kretek terjadi. Dimulai dari perusahaan besar, yaitu Djarum tahun 1976, Gudang Garam tahun 1978, lalu Sampoerna tahun 1984, pemerintah memberikan izin mekanisasi industri (Bentoel sudah lebih dulu melakukannya di tahun 1968). Sejak saat itu pula, kretek mulai menggunakan filter.
Kejayaan kretek kemudian dipastikan melalui program transmigrasi pemerintah Orde Baru mulai dekade tahun 1970-an. Secara “tidak sengaja”, transmigrasi mengantarkan distribusi kretek secara luas ke daerah-daerah di luar Jawa, membuat kretek semakin tak tertandingi rokok putih dan menjadi primadona di negerinya sendiri.
Sampai tahun 1997, industri kretek telah mencatat banyak kemajuan dan melesat jauh meninggalkan industri rokok putih. Swasembada cengkeh telah dinyatakan berhasil tahun 1991, di mana terjadi perluasan lahan yang mencolok, dari 82.387 Ha tahun 1970 menjadi 724.986 Ha tahun 1990.[9] Indonesia semakin mempertegas posisinya sebagai penghasil cengkeh terbesar di dunia, meninggalkan Zanzibar dan Madagaskar, sekaligus menghapus ketergantungan tinggi industri kretek atas impor cengkeh. Tembakau impor pun sebagian besar dipasok untuk kebutuhan produksi rokok putih.
Keadaan di atas memantapkan industri kretek. Seluruh proses produksi dari hulu ke hilir, mulai dari bahan baku—tembakau dan cengkeh—sampai produk akhir—kretek—dikerjakan di dalam negeri. Seluruh lini produksi dipastikan menyerap tenaga kerja dan memberi nilai tambah bagi perekonomian. Tak heran, ketika krisis finansial melanda Asia, industri kretek menunjukkan ketangguhannya.
Krisis moneter yang berawal dari Thailand hingga menjalar ke Indonesia, telah melumpuhkan nilai rupiah sampai Rp 16.000 per dolar Amerika di akhir Januari 1998. Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut. Sebaliknya, industri dengan basis material dalam negeri seperti kretek akan cenderung aman dari guncangan krisis. Industri kretek, meskipun ada muatan impor namun kecil sekali, hanya sekitar 4 persen saja.[10]
Dalam catatan Sumarno dan Kuncoro,[11] pendapatan negara dari cukai rokok justru meningkat, dari Rp 4,153 triliun di tahun 1996 menjadi Rp 4,792 triliun di tahun 1997 dan Rp 7,391 triliun di tahun 1998. Tiga raksasa kretek, yaitu Sampoerna, Gudang Garam, dan Djarum, juga tergolong sebagai 10 perusahaan Indonesia yang dikategorikan bekerja prima di antara 200 perusahaan terbaik di kawasan Asia tahun 1999 – 2000, versi majalah Far Eastern Economic Review (FEER). Sementara, dalam catatan Tri Wibowo, [12] selama masa krisis (1997 – 2002), rata-rata pertumbuhan jumlah perusahaan industri kretek naik sebesar 1,85 persen, di mana kenaikan terbesar terjadi di tahun 1998 sebesar 5,26 persen. Selama masa krisis itu pula, rata-rata pertumbuhan pekerja industri kretek meningkat sebesar 4,43 persen per tahun, di mana peningkatan terbesar terjadi di tahun 1998 sebesar 9,73 persen. Krisis finansial Asia, atau di Indonesia lebih dikenal sebagai krisis moneter, telah menjadi ajang pembuktian ketangguhan industri kretek untuk yang kesekian kalinya.
Pada pengujung milenium kedua, lolos dari rangkaian badai dan krisis yang menerpanya, dapat disimpulkan bahwa memang tidak ada industri nasional yang berkarakter seperti industri kretek: seluruhnya modal dalam negeri, berproduksi di dalam negeri, sebagian besar bahan bakunya dari dalam negeri, dari hulu ke hilir melibatkan puluhan juta tenaga kerja di dalam negeri, mayoritas hasil produksinya dipasarkan di dalam negeri, dan menjadi raja di negeri sendiri dengan menguasai nyaris 90 persen pasar rokok.[13] Karena itu, mempertimbangkan seluruh karakter tersebut, layak rasanya mendudukkan industri kretek di atas industri nasional lain. []
Post : Keceng, 8/8/24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berdiskusi...